GANGGUAN INDERA PENGECAP DAN PENGHIDUP PASCA TERAPI PADA KARSINOMA NASOFARINGS


LATAR BELAKANG


   Karsinoma nasofarings (KNF) atau Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) adalah salah satu keganasan tersering di bidang ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher (THT-KL) yang banyak ditemukan di Indonesia1. Penelitian di RS Dr Sardjito antara tahun 1991 sampai dengan 1995 menunjukkan bahwa karsinoma nasofarings menduduki urutan pertama dari lima besar tumor ganas THT. Frekuensi penderita karsinoma nasofarings pada periode tersebut adalah sebesar 45,35% disusul tumor di kavum oris (22,67%), larings (14,88%), kavum nasi (9,09%) dan sinus paranasal (7,99%). Penelitian di beberapa rumah sakit di Indonesia juga menunjukkan bahwa karsinoma nasofarings menempati frekuensi pertama di antara keganasan kepala dan leher. Laki-laki mempunyai frekuensi lebih tinggi daripada perempuan dengan perbandingan 2 sampai 3 berbanding 1 dan umur mempunyai frekuensi tertinggi pada kelompok umur 30 sampai 60 tahun.



   Penelitian secara retrospektif yang dilakukan di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tiga tahun antara tahun 1992-1994 menunjukkan suatu kecenderungan peningkatan frekuensi setiap tahunnya. Dari 170 kasus yang ditemukan, pada tahun 1992 didapatkan 48 kasus (28,24%), 1993 sebanyak 59 (34,70%) kasus, dan tahun 1994 sebanyak 63 kasus (37,06%) .2

   Di seluruh dunia insidensi tertinggi untuk karsinoma nasofarings adalah di Cina bagian selatan yaitu di propinsi Guangdong, yaitu 40 sampai dengan 50 per 10.000 penduduk pertahun.Insiden yang tinggi juga dijumpai di daerah yang banyak ditempati oleh imigran China.3 Gejala dini karsinoma nasofarings sering tidak khas dan letak nasofarings yang tersembunyi.Pasien sering datang terlambat ke dokter sehingga datang dengan stadium yang lanjut. Pasien datang umumnya pada stadium lanjut diteliti oleh Sastrowijoto et al. (1995) melaporkan dari 170 kasus yang datang di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta pada stadium I sebanyak 1,80%, stadium II 25,29%, stadium III 37,06% dan stadium IV 33,85%. Hutagalung et al. (1996) melaporkan dari 454 kasus yang datang di rumah sakit yang sama pada stadium I sebanyak 2,86%, stadium II 22,68%, stadium III 37,66%, dan stadium IV 36,78%. Apabila dilihat dari frekuensi tersebut, maka frekuensi penderita yang datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV) masih tinggi frekuensinya dibanding dengan yang datang pada stadium awal (stadium I dan II).



Radioterapi merupakan terapi utama pada karsinoma nasofarings.Radioterapi memegang peranan penting dalam pengobatan karsinoma nasofarings karena untuk jenis histopatologi karsinoma tak terdiferensiasi (WHO III) masih sensitif.Radioterapi juga merupakan modalitas yang efektif untuk terapi paliatif pada pasien dengan metastasis jauh. Radioterapi eksternal yang diberikan adalah dosis 1 fraksi 1,8 sampai 2 Gy/hari seminggu 5 fraksi sampai mencapai 66-70 Gy dalam waktu 6-7 minggu untuk tumor primer dan untuk radiasi kelenjar leher yang membesar sampai 60 Gy, Lin dan Jan (1999) mendapatkan angka respon tumor dari 179 pasien yang dilakukan radioterapi konvensional adalah 73,7% mengalami respon lengkap, 19,6% respon sebagian dan sisanya satu orang tidak respon, dua orang progresif, dan sembilan tidak bisa dievaluasi.
Penelitian menggunakan kuesioner chemosensory atau ChemoSensory Questionnaire (CSQ) telah dilakukan oleh Goldberg et al. (2005) untuk pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan leher.Goldberg et al (2005) menggunakan desain potong lintang untuk melakukan validasi CSQ. Hasil penelitian diperoleh konsistensi internal sangat baik dengan nilai Cronbach’s alpha 0,89 untuk skala penghidu dan 0,78 untuk skala pengecap.6 Korelasi dengan alat ukur lain Short Form-12 (SF-12) dan Head and neck Quality of Life Questionnaire (HNQOL) didapatkan berkisar antara 0,20 sampai 0,64 untuk skala rasa dan 0,10 sampai 0,33 untuk skala penghidu.6
Reaksi awal radiasi berupa pembengkakan pada kelenjar air ludah seperti di parotis, mukositis, dan gangguan sensasi cita rasa, dan malaise dengan berbagai derajat. Keadaan ini dapat diatasi dengan menejemen konservatif.Setelah mendapat radioterapi dapat terjadi reaksi lanjut berupa reaksi kulit, udem submental, dan perasaan tebal di kulit fasial. Keadaan ini memerlukan waktu beberapa bulan untuk pulih kembali.7



Kriteria efek akut pada CTC v 2,0 antara lain pendengaran, batuk, dehidrasi, disfagia yang berhubungan dengan radiasi. Fatigue, febril netropenia, fistula faringeal, perubahan hematologi, perdarahan, infeksi, keadaan laboratorium (contoh kreatinin), limfatik, mukositis, dermatitis, perubahan kelenjar air liur, stomatitis, juga dapat disebabkan radiasi. Kemoterapi dapat menimbulkan gangguan penghidu, perubahan suara, vomitus, mulut yang kering, dan kehilangan berat badan.7



Perubahan fungsi pengecap dan penghidu sering terjadi setelah terapi radiasi dan kemoradiasi pada penderita karsinomakepala termasuk karsinoma nasofaring.Radiasi menginduksi perubahan kemosensori disebabkan oleh efek lokal dan sistemis, berupa kerusakan sel, gangguan reseptor, perubahan saraf, atau perubahan reseptor rasa.Kemoterapi dapat mengganggu reseptor kemosensori melalui induksi terhadap mukosa dan menyebabkan secara langsung kerusakan reseptor serta koneksi saraf. Gangguan lain yang dapat timbul berupa superinfeksi saluran nafas atas baik oleh bakteri maupun jamur.7,8



Penelitian ini bertujuan untuk menentukan adanya perbedaan gangguan fungsi indera penghidu dan pengecap pada penderita karsinoma nasofarings dibandingkan karsinoma kepala dan leher non nasofarings, yang mendapat terapi radiasi.
Beberapa penelitian menunjukkan pembedahan ditambah kombinasi radiasi serta kemoterapi memberikan hasil yang lebih menjanjikan.Terapi paliatif menjadi pilihan utama ketika ditemukan karsinoma stadium lanjut, tumor unresectable, metastasis jauh atau kondisi fisik yang buruk.Kemoterapi untuk menurunkan morbiditas tumor lokal .10
Terapi paliatif sering diterapkan seperti radiasi dan atau kemoterapi. Terapi lain adalah kemoterapi sebagai terapi tambahan untuk meningkatkan hasil terapi. Kemoterapi digunakan untuk stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.Kemoterapi dilakukan secara induksi (neoadjuvan), tambahan (adjuvan) atau konkomitan (concurrent). Kemoterapi yang biasa diberikan terdiri atas tiga siklus, tiap siklus diberikan 5-fluorouracil dosis 1000 mg/m2/hari pada hari ke-1 sampai 4 dan cisplatin 100 mg/ m2 pada hari ke-1. Kemoterapi diberikan 3 minggu setelah selesai radioterapi. Hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 91,2% mengalami respon lengkap, 4,4% respon sebagian, 4,4% progresif dan angka respon keseluruhan adalah 95,6% .11
Terapi karsinoma larings dalam 2 dekade, survival rate 5 tahun tidak berubah secara dramatis. Tujuan utama terapi karsinoma laring diarahkan untuk meningkatkan survival rate, memperbaiki kualitas hidup pasien.Multimodalitas terapi, termasuk kemoterapi, radioterapi dan pembedahan yang menekankan preservasi anatomis dan fungsional laring.Kualitas suara lebih penting bagi seseorang yang menggunakan suara sebagai pekerjaan hidup, dan terapi radiasi lebih menjadi pilihan dari pada laringektomi.Derajat I dan II terapi multimodalitas tidak diindikasikan. Pada karsinoma laring stadium lanjut dapat diberikan terapi operasi dan radiasi atau radiasi dan kemoterapi atau ketiganya (operasi, radiasi dan kemoterapi).11,12

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian ini adalah analytic cross sectional dengan membandingkan gangguan indera pengecap dan penghidu pascaterapi penderita karsinoma kepala leher.Gangguan indera penghidu dan pengecap dibedakan antara karsinoma nasofarings dan karsinoma kepala leher non nasofarings.Rancangan penelitian digunakan untuk mengkaji efek atau pengaruh dari modalitas terapi yaitu radioterapi pada status pengecap dan penghidu penderita karsinoma nasofarings.
Populasi target penelitian ini adalah penderita karsinoma kepala leher. Populasi terjangkau adalah penderita karsinoma kepala leher yang berkunjung di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Kriteria inklusi : a. Penderita karsinoma kepala leher, yang telah ditegakkan diagnosis berdasar biopsi dan hasil histopatologi menunjukkan suatu keganasan. b. Pernah dilakukan radioterapi. Kriteria eksklusi:a.Tidak bersedia menandatangani informed consent. b.Tidak komunikatif. Pengambilan sampel penelitian didapat dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia mengikuti penelitan secara consecutive.
Besar sampel dihitung dengan rumus untuk uji hipotesis satu sisi, perbedaan 2 proporsi populasi dengan kesalahan tipe I atau α= 0,05 maka diperoleh Zα = 1,64; dan kesalahan tipe II atau β=0,20 sehingga Zβ = 0,84. Hipotesis satu sisi dipilih karena dianggap terapi karsinoma nasofarings dan karsinoma kepala leher non nasofarings terapi radiasi mempuyai skor gangguan indera pengecap dan penghidu belum dapat dipastikan apakah lebih rendah .
Pada penelitian ini untuk membuktikan hipotesis ini didapatkan jumlah sampel tiap kelompok sebesar 37 sampel, sehingga total untuk dua kelompok membutuhkan 74 sampel .
Penelitian ini menggunakan analisis statistik uji χ2 untuk menghitung ada tidaknya perbedaan karakteristik kedua kelompok dan Uji χ2 Mantel-Haenszel digunakan untuk strafikasi melihat sejauh mana pengaruh dari variabel pengganggu tersebut.Analisis regresi logistik ganda, untuk menilai variabel-variabel yang berpengaruh pada respon terapi.Uji t digunakan untuk menghitung perbedaan rerata variabel tergantung (skala kontinyu, yaitu skor CSQ) menurut variabel bebasnya (skala nominal, yaitu terapi).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Subyek penelitian adalah penderita karsinoma sel skuamosa kepala leher yang berkunjung di RSUP Dr Sardjito.Sebanyak 74 penderita karsinoma sel skuamosa kepala leher yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dimasukkan sampel penelitian. Terdapat kelompok karsinoma nasofarings dan kelompok karsinoma kepala leher non nasofarings..Data lengkap karakteristik demografi tertera pada tabel 1.
Pada penelitian ini antara kelompok penderita karsinoma nasofarings dibandingkan karsinoma kepala leher non nasofarings mempunyai proporsi yang berimbang dan secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna. Penderita karsinoma nasofarings menurut umur ternyata masih didominasi oleh penderita laki-laki dibanding dengan perempuan yaitu 2 : 1. Hal ini juga sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya di mana laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan berkisar 2 sampai 3 : 1.
Tabel 1. Karakteristik demografi berdasarkan kelompok
No Variabel Karsinoma
Nasofarings Karsinoma
Kepala Leher lain
Nilai p
1 Jenis kelamin:
Laki-laki
Perempuan
23
14
26
11
0,464
2 Umur:
60 tahun
1
7
13
10
6
3
4
9
9
13

0,634
Pada penelitian ini umur terbanyak pada kelompok karsinoma nasofarings berkisar 30 sampai dengan 60 tahun. Hal ini sesuai penelitian-penelitian sebelumnya dengan puncaknya pada kelompok umur tersebut dan di atas 60 tahun mengalami penurunan kejadian karsinoma nasofarings.1,2,16 terdapat 1 kasus karsinoma nasofarings usia 14 tahun.

Karakteristik lain sesuai klinis tercatat pada kelompok karsinoma nasofarings tercatat 37 sampel, dan kelompok karsinoma kepala leher lain 37 sampel (Ca sinonasal 18 kasus, Ca larings 13 kasus, Ca lidah 3 kasus, Ca palatum 2 kasus, dan 1 kasus Ca orofaring). Distribusi klinis sesuai besar tumor (T), pembesaran limfonodi (N), dan ada tidaknya metastasis jauh terangkum dalam tabel 3.
Pada kelompok karsinoma nasofarings berdasarkan stadium ditemukan stadium II sebanyak 8 (21,6%) kasus; 9 (24,3%) kasus stadium III; dan 20 (54,1%) kasus stadium IV. Kelompok kontrol memiliki 4 (10,8%) kasus untuk stadium II; 28 (75,7%) kasus stadium III; serta 5 (13,5%) kasus stadium IV.
Kelompok karsinoma nasofarings dan karsinoma kepala leher lain memiliki kecenderungan terdiagnosis dan terapi mulai pada stadium lanjut, tidak didapatkan penderita yang dilakukan terapi pada stadium I. Namun kelompok karsinoma nasofarings sebagian besar memulai terapi pada stadium IV, kelompok karsinoma kepala leher lain terbanyak pada stadium III.
Pembagian karsinoma nasofarings sesuai jenis histopatologi didapatkan WHO 3 atau tipe karsinoma tak terdiferensisasi merupakan jenis yang terbanyak (89,2%). Jenis WHO 2 adalah 8,1% dan 2,7% jenis histopatologi WHO 1. Karsinoma kepala leher non nasofarings semua mempunyai jenis histopatologi karsinoma sel skuamosa. Pada kelompok karsinoma kepala leher lain kebanyakan tidak disebutkan jenis klasifikasi hasil histopatologi, sebagaimana terdapat pada karsinoma nasofarings. Berdasarkan uji X2 didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok untuk homogenitas dengan nilai p=0,001.

Tabel 2. Karakteristik klinis berdasarkan kelompok

No Variabel Karsinoma
nasofarings (%) Karsinoma
Kepala leher lain (%) Nilai p
1 Besar tumor:
• T1
• T2
• T3
• T4
10 (27,0)
10 (27,0)
12 (32,4)
5 (13,5)

2 (5,4)

9 (24,3)
17 (45,9)
9 (24,3)

0,06
2 Status N:

• N0
• N1
• N2
• N3
8 (21,6)
12 (32,4)
7 (18,9)
10 (27,0)

20 (55,6)

10 (27,8)
4 (11,1)
2 (5,6)

0,09

3 Metastasis:
• Ada (M1)
• Tidak (M0)
2 (5,4)
35 (94,6)
1 (2,7)
36 (97,3)

0,556

4 Stadium:
• I
• II
• III
• IV
0
8 (21,6)
9 (24,3)
20 (54,1)

0

4 (10,8)
28 (75,7)
5 (13,5)

0,001
Tabel 3. Jenis keganasan kepala leher

Kelompok Histopatologi Jumlah (%)

Kel Karsinoma nasofarings

Ca nasofarings
37 (100)

Kel Karsinoma Kepala leher

lain
o Ca laring
o Ca sinonasal
o Ca lidah
o Ca palatum
o Ca orofaring
13 (35,1)
18 (48,6)
3 (8,1)
1 (2,7)
2 (5,4)

Berdasarkan hasil uji t tidak berpasangan terhadap gangguan penghidu atau pengecap pada kelompok karsinoma nasofarings dan kelompok karsinoma kepala leher lain didapatkan hasil yang bermakna yaitu karsinoma nasofarings mempunyai rerata skor CSQ pengecap dan penghidu yang lebih rendah dibandingkan karsinoma kepala leher lain. Skor CSQ penghidu karsinoma nasofarings 14,51 dibanding karsinoma kepala leher lain 15,68 dengan hasil berbeda bermakna (nilai p=0,001) dengan rasio prevalensi 3,10 (95% KI 2,04-4,71) dan skor CSQ pengecap karsinoma nasofarings 14,86 , adapun karsinoma kepala leher lain 16,70 terdapat perbedaan bermakna (nilai p = 0,001) dengan rasio prevalensi 4,31 (95% KI 2,38-7,80).

Toksisitas yang terjadi akibat radioterapi dapat dapat menimbulkan seperti mukositis, xerostomia (kekeringan mulut karena gangguan air liur), gangguan cita rasa, disfagia, gangguan bicara, masalah gigi dan nyeri serta komplikasi oral.Keluhan umum seperti gangguan gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), serta penurunan keadaan umum sering terjadi pada radioterapi.
Skor CSQ yang didapat dilanjutkan dengan analisis deskriptif dan inferensial.Rerata skor CSQ dikelompokkan sesuai kelompok karsinoma nasofarings dan karsinoma kepala leher non nasofarings dan klinis (lokasi tumor, T, N, M, serta stadium).
Apabila kualitas hidup dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan terapi maka harus dapat menaikkan kualitas hidup kelompok kombinasi radioterapi ditambah kemoterapi, sehingga terapi lebih berhasil. Selain toksisitas dan status penampilan fisik, faktor lain yang mungkin sebagai penurun kualitas hidup adalah status nutrisi dan penurunan kadar hemoglobin. Apabila faktor ini terbukti maka selain mengatasi toksisitas, pemberian nutrisi yang adekuat dapat menaikkan kualitas hidupnya.Penelitian jangka panjang bagi yang mampu hidup dengan alat ukur spesifik dapat dilakukan.

Tabel 4. Skor CSQ berdasarkan lokasi dan klinis

Variabel Skor CSQ
penghidu pengecap
Lokasi tumor:
Nasofarings
Sinonasal
Larings
Lidah
Palatum
Orofaring

14,51± 1,193

15,76 ± 0,831
15,85 ± 1,281
15 ± 1
15,5 ± 0,707
15
14,86 ± 1,378
16,76 ± 0,752
16,92 ± 1,115
16,00 ± 1
16,50 ± 0,707
17
Besar tumor:
T1
T2
T3
T4

14,75 ± 1,485

15,47 ± 1,611
15,14 ± 0,970
14,79 ± 0,893

15,17± 1,586

16,32 ± 1,493
15,89 ± 1,397
15,43 ± 1,505

Status N:

N0
N1
N2
N3

15,79 ± 1,101

15,00 ± 1,113
14,64 ± 1,286
14,06± 0,900

16,50 ± 1,478

16,05 ± 1,214
15,18 ± 1,328
14,25 ± 0,754

Metastasis:

Ada
Tidak

14,00 ± 1,000

15,14 ± 1,243

14,00 ± 1

15,87 ± 1,474

Stadium:

II
III
IV
16,58 ± 1,505
15,17 ± 0,775
14,28 ± 0,980

17,42 ± 0,669

16,14 ± 1,150
14,52 ± 1,194

Jenis terapi:

Operasi + Radiasi
Kemoradiasi

15,74 ± 1,064
14,62 ± 1,168
16,84 ± 1,860
15,02 ± 1,405
Tabel 5. Rerata skor CSQ pada kedua kelompok

Item Karsinoma
nasofarings Karsinoma kepala leher lain Nilai p
Indera penghidu 14,51 ± 1,193 15,68 ± 1,002 0,001
Indera pengecap 14,86 ± 1,378 16,70 ± 1,378 0,001
• Uji t tidak berpasangan

Tabel 6. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap skor CSQ penghidu

No Variabel Exponen
Beta (β) Nilai p
1 Besar tumor: 0,011 0,938
2 Status N -0,003 0,978
3 Metastasis: -0,178 0,134
4 Lokasi tumor -0,051 0,581
5 Stadium -0,463 0,001
4 Jenis terapi 0,258 0,082

Tabel 7. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap skor CSQ pengecap

No Variabel Exponen
Beta (β) Nilai p
1 Besar tumor: 0,103 0,333
2 Status N 0,021 0,785
3 Metastasis: -0,140 0,123
4 Lokasi tumor -0,105 0,140
5 Stadium -0,508 0,001
6 Jenis terapi 0,346 0,003

Berdasarkan uji analisis regresi logistik pada klasifikasi TNM dan macam tumor kepala leher didapatkan hasil yang bermakna untuk kategori skor CSQ penghidu yaitu stadium (p = 0,001). Skor CSQ katagori pengecap didapatkan hasil bermakna pada stadium (p = 0,001) dan jenis terapi (p = 0,003). Pada karsinoma nasofarings stadium III-IV dilakukan terapi kemoradiasi, sehingga radiasi menginduksi perubahan kemosensori disebabkan oleh efek lokal dan sistemis, berupa kerusakan sel, gangguan reseptor, perubahan saraf, atau perubahan reseptor rasa.Kemoterapi tidak menyebabkan secara langsung kerusakan reseptor serta koneksi saraf.Perubahan fungsi pengecap dan penghidu sering terjadi setelah pengobatan radiasi pada penderita karsinoma kepala leher termasuk karsinoma nasofarings6.
KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gangguan indera pengecap dan penghidu pada penderita karsinoma nasofarings dibandingkan karsinoma kepala leher lain yang mendapat terapi radiasi.

SARAN

Penelitian longitudinal yang lebih panjang diperlukan untuk melihat perubahan kualitas hidup pada penderita karsinoma kepala leher.Dari hasil penelitian membuktikan bahwa radiasi dapat berpengaruh terhadap kerusakan saraf penghidu dan pengecap sehingga disarankan perlu tindakan antisipasi pengamanan terhadap dampak terapi radiasi pada karsinoma nasofarings.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hutagalung M, Cakra IGM, Dhaeng SY. Tinjauan lima besar tumor ganas THT di RSUP Dr Sardjito selama lima tahun (1991-1995). Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan PERHATI, Batu, Malang 1996: 952-963.
2. Sastrowijoto S, Losin K, Setiamika M. Tinjauan retrospektif karsinoma nasofarings di RSUP dr Sardjito selama tiga tahun (1992-1994). Kumpulan Naskah KONAS XI PERHATI, Yogyakarta 1995: 1221-1227.
3. Wei WI, and Sham JST. Cancer of the nasopharynx. In: Myers EN, Suen JY eds. Cancer of the head and neck. Third edition. WB Saunders company. Philadelphia-London-Toronto-Montreal-Sydney-Tokyo 1996: 277-293.
4. Prasad U, Wahid MIA, Jalaludin MA, Abdullah BJJ, Paramsothy M, Abdul-Kareem S. Long-term survival of nasopharyngeal carcinoma patients treated with adjuvant chemotherapy subsequent to conventional radical radiotherapy. Int J Radiat Oncol Bio Phys 2002; 53: 648-655.
5. Trotti A, Johnson DJ, Gwede C, Casey L, Sauder B, Cantor A, et al., Development of a head and neck companion module for the quality of life radiation therapy instrument (QOL-RTI). Int J Radiat Oncol Bio Phys 2002; 42: 257-261.
6. Goldberg AN, Shae JA, Deems DA, Doty RL. A ChemoSensory questionnaire for patient treated for cancer of the head and neck. Laryngoscope 2006; 115:2077-2086.
7. Dickson RI, and Flores AD. Nasopharyngeal carcinoma: an evaluation of 134 patients treated between 1971-1980. Laryngoscope 1985; 95: 276-283.
8. Armstrong RW, Armstrong MJ, Lye MS. Social impact of nasopharyngeal carcinoma on chinese households in Selangor, Malaysia. Singapore Med J 2000; 41: 582-587.
9. Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ.Nasopharyngeal carcinoma. Ann Oncol 2002; 13: 1007-1015.
10. Chia KS, and Lee HP. Epidemiologi. In: Chong VHF and Tsao SY eds. Nasopharyngeal carcinoma. Armour Publisihing Pte Ltd, Singapore 1997: 1-5.
11. Hunt SM, McKenna SP, McEwen J. The Nottingham Health Profile: subjective health status and medical consultations. Soc Sci Med 1981; 15: 221-226.
12. Soetjipto D. Karsinoma nasofarings. Dalam : Iskandar N, Munir M, Soetjipto D (eds). Tumor telinga hidung dan tenggorok diagnosis & penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Indonesia , Jakarta 1989: 71-84.
13. Wei WI, and Sham JST. Present status of management of nasopharyngeal carcinoma. Expert Rev Anticancer Ther 2001; 1: 134-141.
14. Yu CL, Fielding R, Chan CL, Sham JS. Chinese nasopharyngeal carcinoma patients treated with radiotherapy: association between satisfaction with information provided and quality of life. Cancer. 2001 Oct 15;92(8):2126-35.
15. Wang CC. Radiation therapy for head and neck neoplasm. A John Wileys & Sons, Inc Publiction. New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore-Weinheim 1997:257-280.
16. Shanmugaratnam K, Chan SH, de-Thé G. Histopathology of nasopharyngeal carcinoma. Correlations with epudemiology, survival rates and other biological characteristics. Cancer 1979, 44: 1029-1044.
17. Kamal MF, and Sammarai SM. Presentation and epidemiology of nasopharyngeal carcinoma in Jordan. J Laryngol Otol 1999; 113: 422-426.
18. Skinner DW, van Hasselt CA, Tsao SY. Nasopharyngeal carcinoma: modes of presentation. Ann Otol Rhinol Laryngol 1991; 100: 544-551.
19. American Joint of Committee on Cancer. Manual for Staging of Cancer, eds 4th, Philadelphia, JB Lippincott, 1998.
20. Upang W, Lusy ILP, Samodra E,. Pola epidemiologi klinis karsinoma nasofarings di poliklinik THT RSUP Dr Sardjito th. 2000.Makalah bebas pada PIT PERHATI Palembang 2001.
Bottom of Form


Taste and smell impairment on post therapy nasopharyngeal carcinoma
Erlangga Eka Gautama, Bambang Hariwiyanto, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto.
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Departement, Faculty of Medicine Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital.

Abstract
Background. Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignancy within otorhinolaryngology which usually can be found in Indonesia. The highest incidence for nasopharyngeal carcinoma in southern China specifically in the Guangdong Province which 40 to 50 per 10.000 residents per year. Currently, the preferred therapy for nasopharyngeal carcinoma is radiotherapy or chemotherapy, depending on the stage. Non nasopharyngeal head and neck carcinoma which include oral, laryngeal and sinonasal also undergo operative, radiotherapy, and chemotherapy. Radiotherapy can cause side effects which include problems with the ability to taste and smell.
Objective. The goal for this research was to determine the problems of the sense of taste and smell post nasopharyngeal carcinoma therapy.
Method. This design of this research was a cross sectional analysis. Subjects were screened for inclusion criteria and exclusion criteria are then placed into two groups, the nasopharyngeal carcinoma group and the non nasopharyngeal head neck carcinoma group. The sample size needed in this research is 74 samples. Problems in the sense of taste and smell were measured using post therapy CSQ. Exterior primers in the form CSQ scores towards problems in the sense of taste and smell. The risk factors that were observed are the location, the stage and the type of therapy of the tumor.
Result. There was a significant difference between case the group based on the stage. A significant result was seen towards the sense of smell and taste in the groups with the average CSQ score less than the group of other head neck carcinoma. The CSQ smell score for nasopharyngeal carcinoma was 14,51 compared to other head neck carcinoma which is 15,68. The CSQ taste score for nasopharyngeal carcinoma was 14,86 and the other head neck carcinoma 16,70 (p = 0,001). The results of linear regression show a significant outcome the CSQ smell score category which is for stage (p=0,001). For the taste score category a significant result was acquired for stage (p=0,001) and type of therapy (p=0,003).
Conclusion. The average of taste and smell post radiation nasopharyngeal carcinoma was difference with other head and neck carcinoma

Key words: nasopharyngeal carcinoma, radiation, CSQ



Comments

Popular posts from this blog

ANATOMI FISIOLOGI LIDAH MANUSIA

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ANGINA PEKTORIS